Cerpen ini cerpen pertama saya yang berhasil rampung selama mulai mencoba menekuni hobi ini. Nyaris gagal rampung sebenarnya, tapi berkat di kejar deadline waktu itu, maka jadilah mau tidak mau harus dirampungkan. Rencananya memang akan diikutkan pada sayembara cerpen yang diadakan Balai Bahasa Sulteng oktober 2015 lalu. Tapi, apa daya, deadline yang dikejar, malah dilepas begitu saja tepat didepan garis finish. Ah, sepertinya cukup intermezzonya. wkwks :)
Happy reading..
Siluet
senja tengah mematung dibarat cakrawala. Desiran angin berbisik-bisik dengan
dedaunan hijau. Tenang. Sesekali aku mengangkat kepala yang sedari tadi hanyut
dalam buai kalimat-kalimat sastra dari seorang penulis favoritku. Juga sesekali
menyesap udara sore yang cukup menyejukkan. Bukit belakang sekolah. Awalnya aku
tidak percaya masih ada tempat seperti ini disekolah. Disini menyenangkan. Ada
banyak yang bisa diamati dari sini. Kota kecil tempat aku dilahirkan.
Aku
melipat sedikit bagian dari selembar kertas novelku, kemudian kututup. Aku
terdiam. Ada banyak hal yang tiba-tiba menggerogoti pikiranku. Entah dengan Aku
minta, Aku ingin atau tidak, tapi seperti keadaan memaksaku untuk berpikir
keras. Ini memuakkan. Ketika mendapati diriku yang tengah berleha-leha dengan
segala kelabilan. Dan yang paling menyedihkan, Memilih diam dengan keadaan ini.
Memilih cuek dan tidak peduli bahkan dengan diriku sendiri.
“Jani, Aku sudah selesai. Ayo
pulang, sebentar lagi magrib”
Suara itu mengagetkanku dari monolog
rasa yang tak mampu kujawab sendiri. Aku menoleh kearahnya, Seorang anak
laki-laki yang sedari tadi sibuk dengan kameranya tengah berdiri dan siap untuk
pulang. Tanpa menjawab perkataannya aku merapikan semua barangku. Kami pun
berjalan menuruni bukit.
“Pasti menyenangkan hidup dengan
kendali penuh seperti itu. kau hanya melakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku
iri melihat tokoh-tokoh itu. mereka yang berani mengambil jalan berbeda.
Memilih menjadi kaum minoritas ketimbang bergabung dengan kemunafikan
mayoritas. Katanya, punya sayap tapi tidak bisa terbang adalah sesuatu yang
menyakitkan. Tapi, aku benar-benar tidak berpikir demikian.” Aku terus
mencerocos sesuka hati.
Galang hanya tersenyum kearahku.
“Bukankah semua manusia pasti
berubah. Entah itu berubah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Karena pada
dasarnya segala sesuatu itu relatif.” Tambahku
“Baiklah. Aku mengerti maksudmu.
Tapi, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya merasa itu
lebih baik dari pada ketika kau tahu sayapmu patah, tapi orang-orang memaksamu
untuk bisa terbang. Aku mulai terusik dengan penilaian orang-orang. Mereka
selalu menganggap orang baik akan selalu baik. Dan ketika kau membuat
kesalahan, mereka tidak akan mentolerir itu. Lain halnya jika kau dicap sebagai
orang yang buruk, atau setidaknya orang yang biasa-biasa saja. Apapun yang kau
lakukan, mereka hanya akan melihat dan berakhir dengan de javu.alias Ooo… yang
panjang.”
Di sela perbincangan kami, adzan
magrib berkumandang. Kami memutuskan untuk singgah di sebuah masjid yang tak
jauh dari tempat kami berada saat itu.
***
Aku menatap langit-langit kamar,
menerawang jauh melebihi atap rumah. Tapi tak sanggup mengudara lebih jauh
lagi. Aku tiba-tiba teringat sesuatu. Kuraih tas cokelat kecil yang kugunakan
sore tadi dan bergegas membukanya. Selepas magrib, Galang memberiku sesuatu.
Sebuah album foto.
Aku membolak balikkan lembar-lembar
album foto itu. Isinya, hasil-hasil jepretannya dengan satu objek yang sama,
Senja. Hanya saja ada yang berbeda pada tiga lembar terakhir. Ada Aku, Galang,
dan dilembar paling akhir gambar sebuah persimpangan jalan. Dan ada sebait
tulisan tangan Galang dibawahnya. Aku mengerutkan kening saat tiba pada lembar
terakhir itu. Kedua alisku nyaris bertemu satu sama lain. Kutinggalkan beberapa
tanda tanya yang muncul dipikiranku saat itu. Kembali mengudara.
“Apa yang membuat putriku sulit
tidur malam ini?” Suara lembut Ayah membuyarkan lamunanku.
“Ayah, kenapa ada begitu banyak kerusakan saat
ini? Apakah itu karena semakin banyak orang jahat?”
“Bukan, Nak. Tapi karena semakin
banyak orang yang memilih tidak peduli. Atau biasanya, ada yang sebenarnya
peduli, tapi mereka tidak tahu cara menunjukkan kepeduliannya.”
“Lalu, bagaimana seharusnya
menunjukan kepedulian itu, Ayah?”
“Sebelumnya, yakinkan dirimu
terlebih dahulu untuk tidak terpengaruh dengan hal yang kau tahu pasti, itu
buruk. Amatilah, dan temukan caramu sendiri.” Ayah menyunggingkan sedikit
senyum. “Apa itu?” Ayah meraih album foto itu dari atas meja.
“Pemberian Galang. Aku tidak tahu
sejak kapan Ia jadi suka memberi hadiah untuk orang lain.” Aku tertawa kecut.
“Jadi, anak itu benar-benar akan
memberitahukannya sendiri?” Ayah berkata pelan. “Sudah larut malam, tidurlah. Kau
akan punya banyak pekerjaan besok.” Ayah sudah melangkahkan kaki keluar dari
kamarku.
***
Selepas sholat subuh, Aku langsung
bersiap-siap. Ayah mengajakku berziarah kemakam Ibu pagi ini. Hujan baru saja
berhenti, Langit masih gelap. Dingin pagi itu benar-benar tidak membuatku
gentar untuk melangkahkan kaki keluar rumah. Ibu, hari ini putrimu akan berkunjung.
Ayah tidak banyak berkata-kata.
Tatap matanya bisa menjelaskan seberapa dalam cintanya. Diamnya sudah lebih
dari cukup menyampaikan bait-bait rindu pada kekasih yang telah lebih dahulu
mengahadap Sang Pencipta. Rasanya baru kemarin bersama-sama dengan Ibu. 5 tahun
benar-benar singkat. Secara wujud memang tidak lagi bersama, tapi aku yakin Ibu
masih disini. Dihati Ayah dan dihatiku.
Setelah selesai, Aku dan Ayah segera
pulang. Aku menatap sekitar. Tetiba pada salah satu nisan yang terterakan nama
seseorang yang aku kenal, aku berhenti. Ayahpun ikut berhenti. Itu makam Ibu
Galang, dan hari ini hari peringatan kematiannya. Aku tahu betul siapa sosok
itu. Sahabat baik ibu.
“Ternyata ada peziarah lain selain
kami sepagi ini.” Seseorang menyapa kami. Seseorang yang Aku kenal. Ayah
Galang.
Ayah segera terlibat percakapan
dengan Ayah Galang. Aku membantu Galang membersihkan beberapa bagian dari makam
Ibunya. Setelah selesai, Galang mengajakku pulang lebih dulu. Kamipun
meninggalkan Ayah-ayah kami.
Setelah berjalan cukup jauh, kami
berhenti. Dugaanku benar. Galang tidak mengajakku pulang. Aku tidak tahu pasti
ini tempat apa, tapi ini sebuah dataran tinggi. Hampir sama dengan bukit
belakang sekolah. Hanya saja, ada satu hal yang membedakan. Disini tidak ada
senja, melainkan sesuatu yang sangat dikagumi Galang, fajar.
Hampir lima belas menit lamanya
sejak tiba ditempat ini. Tapi tak satupun diantara kami yang membuka
pembicaraan. Aku menatap sekitar. Matahari mulai terangkat. Beberapa orang lalu
lalang dibawah kami. Sepertinya orang-orang itu akan pergi ke kebun. Tepat
disebelah kananku ada sebuah persimpangan. Aku menghentikan pandanganku disana.
“Jani…”
Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku
menoleh ke sumber suara. Sepasang mata coklat yang ku kenal. Entah apa yang
terjadi dengannya pagi ini, tapi aku tahu pasti itu sesuatu yang buruk.
“Jani, aku tidak seperti ini karena
perihal Ibuku.”
“Ya, aku tahu.”
Galang kembali terdiam. Aku masih
setia menanti ia melanjutkan kata-katanya.
“Sejak aku dilahirkan sampai hari
ini, kau orang kedua yang bisa ku percaya selain Ibuku. Seharusnya ada
seseorang selain kalian berdua.” Ia menarik nafas pelan. “Aku bukan tidak
mempercayainya, tapi belum memiliki alasan yang cukup untuk percaya.”
“Ayahmu?”
Galang hanya mengangguk sekaligus
mengakhiri pembicaraan pagi itu. kami melangkah pulang. Kali ini benar-benar
pulang.
***
Kembali dengan ritual soreku. Masih
ditempat yang sama juga satu orang lain yang sama. Hanya saja, hari ini tanpa
kesibukan seperti biasanya. Aku datang dengan tangan kosong kali ini. Dan anak
laki-laki itu pun tidak membawa kamera.
Aku
memandang jauh lurus kedepan. Dan sesekali mendongakkan kepala. Langit sore ini
cerah seperti biasa. Matahari masih cukup menyilaukan. Aku memang datang lebih
awal hari ini. Tidak ada les.
“Hari
ini, aku terlibat sedikit adu mulut dengan teman-teman laki-laki dikelas.
Mereka tersinggung dengan salah satu tulisan di media sosialku. Katanya, aku
sok dewasa, kaku, tidak mengerti apa itu kompak. Mereka juga bilang bahwa
mereka tidak ingin sekolah hanya untuk duduk, diam, dan mendengar. Aku mengerti
dengan perbedaan pandangan. Tapi, dalam tulisan itu, aku sama sekali tidak
mengatakan mereka hanya harus datang ke sekolah untuk duduk dan belajar. Aku
hanya ingin ada perubahan dari sikap tidak peduli mereka terhadap kekacauan
yang mereka timbulkan.” Aku mulai angkat bicara.
“Menurutku
itu hasil dari mengadopsi istilah kebebasan yang salah kaprah. Sejatinya,
mereka sudah mengerti tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut
dilakukan dan yang tidak, tapi untuk ikut perkembangan zaman, mereka
mengesampingkan itu semua.”
“Apa
mereka juga berpikir aku benar-benar membenci mereka? Aku tahu. Aku juga mungkin
tidak pantas menasehati. Sedangkan diri sendiri pun biasanya tak bisa ku atasi.”
“Hubungan
dengan teman-teman ibarat melempar batu ke sungai. Walaupun muncul riak, pada
akhirnya aliran itu berhenti pada ujung yang sama.”
“Ya.
Dan pada akhirnya, masing-masing peristiwa terjadi dengan maksud tersendiri.
Dari sini aku bisa berkaca, merenungkan banyak hal. Ternyata banyak sekali
etalase yang perlu ku perbaiki. Kau tahu, akhir-akhir ini aku merasa tidak ada bedanya
dengan orang munafik. Menghakimi, tapi tanpa sadar aku juga melakukan hal yang
sama dengan skala yang berbeda.” Aku menghela napas dalam-dalam.
“Sama
sepertimu, mereka juga pasti akan menyadarinya. Entah kapan. Bertahanlah dan
kita akan menyelesaikan ini. Bukankah katamu, tahun terakhir punya cita rasa
kuat? Seorang pelaut tangguh tidak lahir dari laut yang tenang. Dan tentang
yang terakhir, aku rasa semua orang juga seperti itu. kau beruntung
menyadarinya lebih awal.”
Aku
memukul bahu Galang. Kami tertawa menikmati perjalanan ini.
“Selanjutnya,
aku yang akan berceloteh panjang kali ini.”
Aku
mengangguk takzim. Aku tahu ini tentang sesuatu yang serius.
“Mungkin
kau sudah menyadari ini. Aku akan pergi bersama Ayah.”
Aku
terdiam. Lalu tersenyum takzim kearahnya.
Alasan Ayah Galang mengirim Galang
dan Ibunya ke tempat ini sepuluh tahun lalu adalah untuk melindungi mereka.
Sebagai salah satu bidak dalam percaturan politik, Ayah Galang tahu betul
betapa bahayanya itu bagi orang-orang terdekatnya. Ibu Galang yang memilih kota
kecil ini, dan Ibuku adalah salah satu alasannya. Galang tahu semua itu dari
ibunya. Tapi, Ia tidak bisa mempercayai itu karena ayahnya tak pernah bersedia
menjawab setiap kali ia bertanya soal itu.
“Pada malam kedatangannya beberapa
hari lalu, Ayahku akhirnya menjelaskan semuanya. Kata Ayahku, Ia hanya tidak
ingin terlihat lemah didepan putranya. Ia takut tidak bisa melindungi kami jika
berada disisinya. Ia juga takut ketika jabatan dan posisi yang sampai sekarang
masih dipangkunya malah melemahkan dan menjatuhkannya. Ayah bilang, Ia tidak
sanggup menghadapi Aku dan Ibuku jika semua itu sampai terjadi.”
Aku tertunduk dan kemudian
mendongakkan kepala menghadap langit biru yang perlahan berubah oranye keemasan.
Aku bersyukur, ternyata di negeri ini masih ada seorang pemangku jabatan tinggi
yang berpikir seperti itu. Tidak ada alasan untuk berhenti optimis dengan
negeri ini.
“Dan setelah sepuluh tahun bertahan,
Ayah kini menyerah dengan kesepiannya, Ia memintaku ikut dengannya. Tapi..”
Galang menoleh kearahku.
‘Kau harus pergi. Ayahmu tidak
menunggu selama sepuluh tahun untuk mendapati anaknya beralasan takut dengan
kenikmatan yang akan hidup ini tawarkan. Aku juga tidak keberatan sama sekali.”
Kataku berapi-api.
Galang tertawa lebar mendengar
komentarku.
***
Perpisahan. Apa yang menyedihkan
darinya, jika dengannya kita sebenarnya bisa mengerti lebih banyak? Ia juga
bukan semata-mata tentang pergi. Bisa juga datang. Tergantung sudut pandang
yang kita gunakan. Secara wujud memang tidak lagi bersama, tapi kisah dan
kenangan selalu punya tempat terbaik disini, hati. Dan rindu, sudah pasti ambil
bagian sebagai kelanjutan dari perpisahan. Bukan tentang seberapa dalam
kerinduan, tapi kemana rindu itu akan dihantarkan. Kepada makhluk-Nya yang
fana, atau kepada-Nya Yang Maha Memiliki Segala Kerinduan.
Senja
masih tetap sama. Bukit bealakang sekolah ini juga masih ramah seperti biasa
setelah ditinggal seorang pengunjung tetapnya. Aku sendiri juga baru bisa
menyempatkan diri datang hari ini.
Siang
tadi setelah pengumuman kelulusan ada seorang anak perempuan setingkatku
menghampiri. Galang anak yang cukup populer disekolah. Dan anak perempuan ini
juga bukan orang pertama yang bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Jani,
bagaimana dengan Galang?” Ia bertanya antusias sambil menunjuk amplop kelulusan
yang ia pegang.
“Ya.
Dia baru saja mengirimkan foto sebuah amplop yang isinya sama seperti punyamu
dan kita semua.” Jawabku sambil memperlihatkan foto yang kumaksud
“Tunggu
sebentar. Aku hanya ingin tahu, apakah kau punya hubungan khusus dengan
Galang?” Nada suaranya sangat hati-hati.
Aku
mengangguk mantap sambil tersenyum dan kembali berjalan menuju teman-teman
sekelasku.
Aku
tertawa mengingat pertanyaan itu. Kebersamaan selama hampir satu dekade, bisa
berbagi masalah apa saja, saling megingatkan, dan saling menghormati, bagiku
semua itu sudah lebih dari khusus.
***
Senja masih setia didepan sana.
Beberapa menit lagi siap memasuki peraduannya. Aku menatap lamat-lamat objek yang
ada di depanku, kemudian menarik album foto itu kedalam dekapanku.
Fajarku, akhirnya hari ini kita
akan meninggalkan zona nyaman lagi. Mendapati sebuah persimpangan jalan lagi.
Aku sudah memutuskan akan mengambil jalan yang mana, bagaimana denganmu? Semoga
kita tetap berada dijalan yang semestinya.
Aku
membaca kembali sebait tulisan yang entah harus disebut apa dalam album foto
itu. Tulisan tangan seseorang.
Fajar,
Senja..
Senja,
Fajar..
Bagaimana
mereka akan bertemu lagi,
Bukankah
mereka adalah satu bintang yang sama?
Kehilangan
apa yang akan ada,
Ketika
kita bahkan tidak pernah memiliki..
Nadhalma1436H