Sabtu, 23 Januari 2016

Cerpen - Persimpangan Jalan

Cerpen ini cerpen pertama saya yang berhasil rampung selama mulai mencoba menekuni hobi ini. Nyaris gagal rampung sebenarnya, tapi berkat di kejar deadline waktu itu, maka jadilah mau tidak mau harus dirampungkan. Rencananya memang akan diikutkan pada sayembara cerpen yang diadakan Balai Bahasa Sulteng oktober 2015 lalu. Tapi, apa daya, deadline yang dikejar, malah dilepas begitu saja tepat didepan garis finish. Ah, sepertinya cukup intermezzonya. wkwks :)
Happy reading.. 



Siluet senja tengah mematung dibarat cakrawala. Desiran angin berbisik-bisik dengan dedaunan hijau. Tenang. Sesekali aku mengangkat kepala yang sedari tadi hanyut dalam buai kalimat-kalimat sastra dari seorang penulis favoritku. Juga sesekali menyesap udara sore yang cukup menyejukkan. Bukit belakang sekolah. Awalnya aku tidak percaya masih ada tempat seperti ini disekolah. Disini menyenangkan. Ada banyak yang bisa diamati dari sini. Kota kecil tempat aku dilahirkan.
Aku melipat sedikit bagian dari selembar kertas novelku, kemudian kututup. Aku terdiam. Ada banyak hal yang tiba-tiba menggerogoti pikiranku. Entah dengan Aku minta, Aku ingin atau tidak, tapi seperti keadaan memaksaku untuk berpikir keras. Ini memuakkan. Ketika mendapati diriku yang tengah berleha-leha dengan segala kelabilan. Dan yang paling menyedihkan, Memilih diam dengan keadaan ini. Memilih cuek dan tidak peduli bahkan dengan diriku sendiri.
            “Jani, Aku sudah selesai. Ayo pulang, sebentar lagi magrib”
            Suara itu mengagetkanku dari monolog rasa yang tak mampu kujawab sendiri. Aku menoleh kearahnya, Seorang anak laki-laki yang sedari tadi sibuk dengan kameranya tengah berdiri dan siap untuk pulang. Tanpa menjawab perkataannya aku merapikan semua barangku. Kami pun berjalan menuruni bukit.
            “Pasti menyenangkan hidup dengan kendali penuh seperti itu. kau hanya melakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku iri melihat tokoh-tokoh itu. mereka yang berani mengambil jalan berbeda. Memilih menjadi kaum minoritas ketimbang bergabung dengan kemunafikan mayoritas. Katanya, punya sayap tapi tidak bisa terbang adalah sesuatu yang menyakitkan. Tapi, aku benar-benar tidak berpikir demikian.” Aku terus mencerocos sesuka hati.
            Galang hanya tersenyum kearahku.
            “Bukankah semua manusia pasti berubah. Entah itu berubah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Karena pada dasarnya segala sesuatu itu relatif.” Tambahku
            “Baiklah. Aku mengerti maksudmu. Tapi, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?”
            “Bukan apa-apa. Aku hanya merasa itu lebih baik dari pada ketika kau tahu sayapmu patah, tapi orang-orang memaksamu untuk bisa terbang. Aku mulai terusik dengan penilaian orang-orang. Mereka selalu menganggap orang baik akan selalu baik. Dan ketika kau membuat kesalahan, mereka tidak akan mentolerir itu. Lain halnya jika kau dicap sebagai orang yang buruk, atau setidaknya orang yang biasa-biasa saja. Apapun yang kau lakukan, mereka hanya akan melihat dan berakhir dengan de javu.alias Ooo… yang panjang.”
            Di sela perbincangan kami, adzan magrib berkumandang. Kami memutuskan untuk singgah di sebuah masjid yang tak jauh dari tempat kami berada saat itu.
***
            Aku menatap langit-langit kamar, menerawang jauh melebihi atap rumah. Tapi tak sanggup mengudara lebih jauh lagi. Aku tiba-tiba teringat sesuatu. Kuraih tas cokelat kecil yang kugunakan sore tadi dan bergegas membukanya. Selepas magrib, Galang memberiku sesuatu. Sebuah album foto.
            Aku membolak balikkan lembar-lembar album foto itu. Isinya, hasil-hasil jepretannya dengan satu objek yang sama, Senja. Hanya saja ada yang berbeda pada tiga lembar terakhir. Ada Aku, Galang, dan dilembar paling akhir gambar sebuah persimpangan jalan. Dan ada sebait tulisan tangan Galang dibawahnya. Aku mengerutkan kening saat tiba pada lembar terakhir itu. Kedua alisku nyaris bertemu satu sama lain. Kutinggalkan beberapa tanda tanya yang muncul dipikiranku saat itu. Kembali mengudara.
            “Apa yang membuat putriku sulit tidur malam ini?” Suara lembut Ayah membuyarkan lamunanku.
             “Ayah, kenapa ada begitu banyak kerusakan saat ini? Apakah itu karena semakin banyak orang jahat?”
            “Bukan, Nak. Tapi karena semakin banyak orang yang memilih tidak peduli. Atau biasanya, ada yang sebenarnya peduli, tapi mereka tidak tahu cara menunjukkan kepeduliannya.”
            “Lalu, bagaimana seharusnya menunjukan kepedulian itu, Ayah?”
            “Sebelumnya, yakinkan dirimu terlebih dahulu untuk tidak terpengaruh dengan hal yang kau tahu pasti, itu buruk. Amatilah, dan temukan caramu sendiri.” Ayah menyunggingkan sedikit senyum. “Apa itu?” Ayah meraih album foto itu dari atas meja.
            “Pemberian Galang. Aku tidak tahu sejak kapan Ia jadi suka memberi hadiah untuk orang lain.” Aku tertawa kecut.
            “Jadi, anak itu benar-benar akan memberitahukannya sendiri?” Ayah berkata pelan. “Sudah larut malam, tidurlah. Kau akan punya banyak pekerjaan besok.” Ayah sudah melangkahkan kaki keluar dari kamarku.
***
            Selepas sholat subuh, Aku langsung bersiap-siap. Ayah mengajakku berziarah kemakam Ibu pagi ini. Hujan baru saja berhenti, Langit masih gelap. Dingin pagi itu benar-benar tidak membuatku gentar untuk melangkahkan kaki keluar rumah. Ibu, hari ini putrimu akan berkunjung.
            Ayah tidak banyak berkata-kata. Tatap matanya bisa menjelaskan seberapa dalam cintanya. Diamnya sudah lebih dari cukup menyampaikan bait-bait rindu pada kekasih yang telah lebih dahulu mengahadap Sang Pencipta. Rasanya baru kemarin bersama-sama dengan Ibu. 5 tahun benar-benar singkat. Secara wujud memang tidak lagi bersama, tapi aku yakin Ibu masih disini. Dihati Ayah dan dihatiku.
            Setelah selesai, Aku dan Ayah segera pulang. Aku menatap sekitar. Tetiba pada salah satu nisan yang terterakan nama seseorang yang aku kenal, aku berhenti. Ayahpun ikut berhenti. Itu makam Ibu Galang, dan hari ini hari peringatan kematiannya. Aku tahu betul siapa sosok itu. Sahabat baik ibu.
            “Ternyata ada peziarah lain selain kami sepagi ini.” Seseorang menyapa kami. Seseorang yang Aku kenal. Ayah Galang.
            Ayah segera terlibat percakapan dengan Ayah Galang. Aku membantu Galang membersihkan beberapa bagian dari makam Ibunya. Setelah selesai, Galang mengajakku pulang lebih dulu. Kamipun meninggalkan Ayah-ayah kami.
            Setelah berjalan cukup jauh, kami berhenti. Dugaanku benar. Galang tidak mengajakku pulang. Aku tidak tahu pasti ini tempat apa, tapi ini sebuah dataran tinggi. Hampir sama dengan bukit belakang sekolah. Hanya saja, ada satu hal yang membedakan. Disini tidak ada senja, melainkan sesuatu yang sangat dikagumi Galang, fajar.
            Hampir lima belas menit lamanya sejak tiba ditempat ini. Tapi tak satupun diantara kami yang membuka pembicaraan. Aku menatap sekitar. Matahari mulai terangkat. Beberapa orang lalu lalang dibawah kami. Sepertinya orang-orang itu akan pergi ke kebun. Tepat disebelah kananku ada sebuah persimpangan. Aku menghentikan pandanganku disana.
            “Jani…”
            Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Sepasang mata coklat yang ku kenal. Entah apa yang terjadi dengannya pagi ini, tapi aku tahu pasti itu sesuatu yang buruk.
            “Jani, aku tidak seperti ini karena perihal Ibuku.”
            “Ya, aku tahu.”
            Galang kembali terdiam. Aku masih setia menanti ia melanjutkan kata-katanya.
            “Sejak aku dilahirkan sampai hari ini, kau orang kedua yang bisa ku percaya selain Ibuku. Seharusnya ada seseorang selain kalian berdua.” Ia menarik nafas pelan. “Aku bukan tidak mempercayainya, tapi belum memiliki alasan yang cukup untuk percaya.”
            “Ayahmu?”
            Galang hanya mengangguk sekaligus mengakhiri pembicaraan pagi itu. kami melangkah pulang. Kali ini benar-benar pulang.
***
            Kembali dengan ritual soreku. Masih ditempat yang sama juga satu orang lain yang sama. Hanya saja, hari ini tanpa kesibukan seperti biasanya. Aku datang dengan tangan kosong kali ini. Dan anak laki-laki itu pun tidak membawa kamera.
Aku memandang jauh lurus kedepan. Dan sesekali mendongakkan kepala. Langit sore ini cerah seperti biasa. Matahari masih cukup menyilaukan. Aku memang datang lebih awal hari ini. Tidak ada les.
“Hari ini, aku terlibat sedikit adu mulut dengan teman-teman laki-laki dikelas. Mereka tersinggung dengan salah satu tulisan di media sosialku. Katanya, aku sok dewasa, kaku, tidak mengerti apa itu kompak. Mereka juga bilang bahwa mereka tidak ingin sekolah hanya untuk duduk, diam, dan mendengar. Aku mengerti dengan perbedaan pandangan. Tapi, dalam tulisan itu, aku sama sekali tidak mengatakan mereka hanya harus datang ke sekolah untuk duduk dan belajar. Aku hanya ingin ada perubahan dari sikap tidak peduli mereka terhadap kekacauan yang mereka timbulkan.” Aku mulai angkat bicara.
“Menurutku itu hasil dari mengadopsi istilah kebebasan yang salah kaprah. Sejatinya, mereka sudah mengerti tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut dilakukan dan yang tidak, tapi untuk ikut perkembangan zaman, mereka mengesampingkan itu semua.”
“Apa mereka juga berpikir aku benar-benar membenci mereka? Aku tahu. Aku juga mungkin tidak pantas menasehati. Sedangkan diri sendiri pun biasanya tak bisa ku atasi.”
“Hubungan dengan teman-teman ibarat melempar batu ke sungai. Walaupun muncul riak, pada akhirnya aliran itu berhenti pada ujung yang sama.”
“Ya. Dan pada akhirnya, masing-masing peristiwa terjadi dengan maksud tersendiri. Dari sini aku bisa berkaca, merenungkan banyak hal. Ternyata banyak sekali etalase yang perlu ku perbaiki. Kau tahu, akhir-akhir ini aku merasa tidak ada bedanya dengan orang munafik. Menghakimi, tapi tanpa sadar aku juga melakukan hal yang sama dengan skala yang berbeda.” Aku menghela napas dalam-dalam.
“Sama sepertimu, mereka juga pasti akan menyadarinya. Entah kapan. Bertahanlah dan kita akan menyelesaikan ini. Bukankah katamu, tahun terakhir punya cita rasa kuat? Seorang pelaut tangguh tidak lahir dari laut yang tenang. Dan tentang yang terakhir, aku rasa semua orang juga seperti itu. kau beruntung menyadarinya lebih awal.”
Aku memukul bahu Galang. Kami tertawa menikmati perjalanan ini.
“Selanjutnya, aku yang akan berceloteh panjang kali ini.”
Aku mengangguk takzim. Aku tahu ini tentang sesuatu yang serius.
“Mungkin kau sudah menyadari ini. Aku akan pergi bersama Ayah.”
Aku terdiam. Lalu tersenyum takzim kearahnya.
            Alasan Ayah Galang mengirim Galang dan Ibunya ke tempat ini sepuluh tahun lalu adalah untuk melindungi mereka. Sebagai salah satu bidak dalam percaturan politik, Ayah Galang tahu betul betapa bahayanya itu bagi orang-orang terdekatnya. Ibu Galang yang memilih kota kecil ini, dan Ibuku adalah salah satu alasannya. Galang tahu semua itu dari ibunya. Tapi, Ia tidak bisa mempercayai itu karena ayahnya tak pernah bersedia menjawab setiap kali ia bertanya soal itu.
            “Pada malam kedatangannya beberapa hari lalu, Ayahku akhirnya menjelaskan semuanya. Kata Ayahku, Ia hanya tidak ingin terlihat lemah didepan putranya. Ia takut tidak bisa melindungi kami jika berada disisinya. Ia juga takut ketika jabatan dan posisi yang sampai sekarang masih dipangkunya malah melemahkan dan menjatuhkannya. Ayah bilang, Ia tidak sanggup menghadapi Aku dan Ibuku jika semua itu sampai terjadi.”
            Aku tertunduk dan kemudian mendongakkan kepala menghadap langit biru yang perlahan berubah oranye keemasan. Aku bersyukur, ternyata di negeri ini masih ada seorang pemangku jabatan tinggi yang berpikir seperti itu. Tidak ada alasan untuk berhenti optimis dengan negeri ini.
            “Dan setelah sepuluh tahun bertahan, Ayah kini menyerah dengan kesepiannya, Ia memintaku ikut dengannya. Tapi..” Galang menoleh kearahku.
            ‘Kau harus pergi. Ayahmu tidak menunggu selama sepuluh tahun untuk mendapati anaknya beralasan takut dengan kenikmatan yang akan hidup ini tawarkan. Aku juga tidak keberatan sama sekali.” Kataku berapi-api.
            Galang tertawa lebar mendengar komentarku.
***
            Perpisahan. Apa yang menyedihkan darinya, jika dengannya kita sebenarnya bisa mengerti lebih banyak? Ia juga bukan semata-mata tentang pergi. Bisa juga datang. Tergantung sudut pandang yang kita gunakan. Secara wujud memang tidak lagi bersama, tapi kisah dan kenangan selalu punya tempat terbaik disini, hati. Dan rindu, sudah pasti ambil bagian sebagai kelanjutan dari perpisahan. Bukan tentang seberapa dalam kerinduan, tapi kemana rindu itu akan dihantarkan. Kepada makhluk-Nya yang fana, atau kepada-Nya Yang Maha Memiliki Segala Kerinduan.
Senja masih tetap sama. Bukit bealakang sekolah ini juga masih ramah seperti biasa setelah ditinggal seorang pengunjung tetapnya. Aku sendiri juga baru bisa menyempatkan diri datang hari ini.
Siang tadi setelah pengumuman kelulusan ada seorang anak perempuan setingkatku menghampiri. Galang anak yang cukup populer disekolah. Dan anak perempuan ini juga bukan orang pertama yang bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Jani, bagaimana dengan Galang?” Ia bertanya antusias sambil menunjuk amplop kelulusan yang ia pegang.
“Ya. Dia baru saja mengirimkan foto sebuah amplop yang isinya sama seperti punyamu dan kita semua.” Jawabku sambil memperlihatkan foto yang kumaksud
“Tunggu sebentar. Aku hanya ingin tahu, apakah kau punya hubungan khusus dengan Galang?” Nada suaranya sangat hati-hati.
Aku mengangguk mantap sambil tersenyum dan kembali berjalan menuju teman-teman sekelasku.
Aku tertawa mengingat pertanyaan itu. Kebersamaan selama hampir satu dekade, bisa berbagi masalah apa saja, saling megingatkan, dan saling menghormati, bagiku semua itu sudah lebih dari khusus.
***
            Senja masih setia didepan sana. Beberapa menit lagi siap memasuki peraduannya. Aku menatap lamat-lamat objek yang ada di depanku, kemudian menarik album foto itu kedalam dekapanku.
Fajarku, akhirnya hari ini kita akan meninggalkan zona nyaman lagi. Mendapati sebuah persimpangan jalan lagi. Aku sudah memutuskan akan mengambil jalan yang mana, bagaimana denganmu? Semoga kita tetap berada dijalan yang semestinya.
Aku membaca kembali sebait tulisan yang entah harus disebut apa dalam album foto itu. Tulisan tangan seseorang.
Fajar, Senja..
Senja, Fajar..
Bagaimana mereka akan bertemu lagi,
Bukankah mereka adalah satu bintang yang sama?
Kehilangan apa yang akan ada,  
Ketika kita bahkan tidak pernah memiliki..



Nadhalma1436H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar